Tag: student centre learning


PROSES PEMBELAJARAN dan STUDENT CENTRED LEARNING (SCL)


PROSES PEMBELAJARAN dan STUDENT CENTRE LEARNING (SCL)

Model pembelajaran yang selama ini dilakukan yaitu model pembelajaran konvensional (faculty teaching) atau yang dikenal dengan Teacher Centre Learning (TCL) seperti model kuliah mimbar, kental dengan suasana instruksional dan dirasa kurang sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Lebih dari itu kewajiban pendidikan dituntut untuk juga memasukkan nilai-nilai moral, budi pekerti luhur, kreatifitas, kemandirian dan kepemimpinan, yang sangat sulit dilakukan dalam sistim pembelajaran yang konvensional, dimana kompetensi soft skill tersebut sangat membantu lulusan untuk berhasil dalam dunia kerja. Sistim pembelajaran konvensional kurang flexsibel dalam mengakomodasi perkembangan materi perkuliahan karena dosen harus intensif menyesuaikan materi dengan perkembangan teknologi terbaru. Kurang bijaksana jika perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibanding dengan kemampuan dosen dalam menyesuaikan materi perkuliahan dengan perkembangan tersebut, karena dapat dipastikan lulusan akan memiliki kompetensi yang kurang (penguasaan pengetahuan /teknologi terbaru). Sehingga dengan latar belakang tersebut maka pola pembelajaran konvensional atau paradigma Faculty teaching ke Student-Centered Learning (SCL) sangat tepat untuk di implementasikan pada proses pembelajaran.

PROSES PEMBELAJARAN

Komponen  pembelajaran meliputi input,  proses,  output,  outcome,  dan  impact. Input terdiri dari mahasiswa (dengan berbagai atribut yang melekat padanya), kurikulum, dan fasilitas (dosen, gedung, laboratorium, perpustakaan, dana). Proses pembelajaran melibatkan mahasiswa, dosen, staf pendukung, kurikulum, fasilitas, dan peluang. Output dapat diukur dari IPK, proporsi lulusan, lama studi, dan waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan. Outcome dicirikan oleh kriteria kompetensi lulusan yang harus dikuasai dan dilaksanakan olehnya; kriteria ini melekat pada tujuan pembelajaran dari masing-masing program studi. Impact dapat diukur, dilihat, atau digali dari komunitas, stake holders, maupun  alumni,  beberapa waktu  setelah  lulusan  bekerja. Walaupun sulit  diukur, dari output, outcome, dan impact dapat diambil manfaatnya untuk perbaikan mutu mahasiswa baru, kurikulum, fasilitas, serta proses pembelajaran itu sendiri.

Proses pembelajaran harus mengacu pada tujuan pendidikan; sementara itu implementasi inovasi pendidikan harus mempertimbangkan tantangan (bukan hambatan) yang selalu muncul sebagai akibat dari upaya pencapaian tujuan pendidikan. Menurut Tiffin dan Rajasingham, tujuan pendidikan adalah  “ ….providing assistance to learners that enables them to achieve levels of development (and efficiency) that they would not be able to achieve by themselves”, dan tantangan pendidikan adalah “ …creating effective learning  environment  and  resources”. Sementara itu, pendidikan mempunyai tujuan sosial, bukan semata-mata  pencapaian pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan tertentu yang bersifat individual.

SPICES

Strategi inovasi pendidikan secara integral meliputi pendekatan student-centered learning, problem-based, integrated curriculum, community oriented, elective program, dan systematic (SPICES). Dari 6 elemen tadi maka   student-centered learning, integrated curriculum,  dan  elective program  merupakan elemen-elemen yang sangat penting dan pelaksanaannya  memerlukan  sumbangsih dan keterlibatan  dari semua pihak  yang   terkait  di dalam proses pendidikan.

STUDENT CENTRED LEARNING (SCL)

Student-centered learning (SCL) is where students work in both groups and individually  to  explore  problems  and become active knowledge workers rather than passive knowledge  recipients. Harmon SW (1996)

Student-centred learning describes ways of thinking about learning and teaching that emphasise student responsibility for such activities as planning learning, interacting with teachers and other students, researching, and assessing learning. Cannon, (2000)

SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan  mahasiswa sebagai peserta didik (subyek) aktif dan mandiri, dengan kondisi psikologik sebagai adult  learner, bertanggung  jawab  sepenuhnya  atas  pembelajarannya, serta mampu belajar beyond the classroom. Kelak, para alumni diharapkan memiliki dan menghayati karakteristik life-long  learning yang menguasai hard skills, soft skills, dan life-skills yang saling mendukung. Di sisi lain, para dosen beralih fungsi, dari pengajar menjadi mitra pembelajaran maupun sebagai fasilitator  (from mentor  in  the center  to guide on the side).

Materi dan model   penyampaian pembelajaran dalam SCL secara lengkap meliputi 3  aspek, yaitu (a) isi ilmu pengetahuan (IPTEK),  (b) sikap  mental dan etika yang dikembangkan,  dan  (c) nilai-nilai yang diinternalisasikan  kepada para mahasiswa. Di dalam proses SCL terdapat hubungan “tarik-menarik” antara learner support dan learner control.

Taksonomi intelligent tutoring systems meliputi hubungan fungsional dosen terhadap mahasiswa (tutor, penasihat, kritik, memberi bantuan, konsultan, agen) dan aktivitas dosen (mengajar, membimbing, memberi visualisasi, menjelaskan, memberi kritik, beradu pendapat, dan bahkan “menghambat ”). Memperhatikan taksonomi tadi maka dosen yang terlibat di dalam proses pembelajaran yang berorientasi SCL perlu memiliki kompetensi yang sesuai dengan proses yang sedang berjalan. Di lain pihak, penanggung jawab institusi terdepan perlu memperhatikan seluruh aspek yang terkait dan terlibat dalam proses pembelajaran (lihat gambar) agar seluruh kebijakan (policy) didasarkan untuk menjamin  terselenggaranya proses pembelajaran secara kondusif, efisien, dan efektif. Didalam proses SCL bukan hanya kompetensi dosen yang harus meningkat, tetapi perubahan paradigma dan mindset adalah merupakan hal utama. Berkaitan dengan perubahan mindset, Jordan & Spencer menyatakan bahwa  “… student-centered learning demands that not only that teachers are experts in their fields but also – and more importantly -that they understand how people learn”. Lebih jauh Harmon dan Hirumi menegaskan bahwa “ …because of new emerging technologies such as networking and rapid access to vast stores of knowledge, the students can become active seekers rather than passive

recipients to knowledge”.

Gambaran lain tentang perbedaan antara traditional teaching (Teaching Centre Learning) dan Student-Centered Learning adalah sebagai berikut :

No TRADITIONAL TEACHING (Teaching Centre Learning) NEW LEARNING (Student Centre Learning)
1 Transformasi pengetahuan dari dosen ke Mahasiswa. Mahasiswa aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari.
2 Mahasiswa menerima pengetahuan secara pasif. Mahasiswa secara aktif terlibat dalam mengelola pengetahuan.
3 Lebih menekankan pada penguasaan materi. Tidaj terfokus hanya pada penguasaan materi, tetapi juga mengembangkan sikap belajar (life long learning)
4 Single Media. Multimedia.
5 Fungsi dosen pemberi informasi utama dan evaluator. Fungsi dosen sebagai motivator, fasilitator dan evaluator.
6 Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan terpisah. Proses pembelajaran dan penilaian dilakukan berkesinambungan dan terintegrasi.
7 Menekankan pada jawaban yang benar saja. Penekanan pada proses pengembangan pengetahuan. Kesalahan dapat digunakan sebagai sumber belajar.
8 Sesuai dengan pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja. Sesuai dengan pengembangan ilmu dengan pendekatan interdisipliner.
9 Iklim belajar individual dan kompetitif. Iklim yang dikembangkan bersifat kolaboratif, suportif dan kooperatif.
10 Hanya mahasiswa yang dianggap melakukan proses pembelajaran. Mahasiswa dan dosen belajar bersama dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
11 Perkuliahan merupakan bagian terbesar dalam proses pembelajaran. Mahasiswa melakukan pembelajaran dengan berbagai model pembelajaran SCL.
12 Penekanan pada tuntasnya materi pembelajaran. Penekanan pada pencapaian kompetensi mahasiswa
13 Penekanan pada bagaimana cara dosen melakukan pengajaran. Penekanan pada bagaimana cara mahasiswa melakukan pembelajaran.
14 Cenderung penekanan pada penguasaan Hard-Skill Mahasiswa Penekanan pada pengusaan Hard Skill dan Soft Skill.

 

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DALAM SCL

Student-Centered Learning memiliki potensi untuk mendorong mahasiswa belajar lebih aktif, mandiri, sesuai dengan irama belajarnya masing-masing, sesuai dengan perkembangan usia peserta didik, irama belajar mahasiswa tersebut perlu dipandu agar terus dinamis dan mempunyai tingkat kompetensi yang tinggi. Beberapa model pembelajaran SCL adalah sebagai berikut:

Small Group Discussion (SGD)

Metode diskusi merupakan model pembelajaran yang melibatkan antara kelompok mahasiswa dan kelompok mahasiswa atau kelompok mahasiswa dan pengajar untuk menganalisa, menggali atau memperdebatkan topik atau permasalahan tertentu.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) membuat rancangan bahan diskusi dan aturan diskusi. (2) Menjadi moderator dan sekaligus mengulas pada setiap akhir sesi diskusi. Sedangkan mahasiswa (1) membentuk kelompok (5 -10) mahasiswa, (2) memilih bahan diskusi, (3) mempresentasikan paper dan mendiskusikannya di kelas.

Role-Play and Simulation

Metode ini berbentuk interaksi antara dua atau lebih mahasiswa tentang suatu topik atau kegiatan dengan menampilkan simbol-simbol atau peralatan yang menggantikan proses, kejadian, atau sistem yang sebenarnya. Jadi dengan model ini mahasiswa mempelajari sesuatu (sistem) dengan menggunakan model.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) merancang situasi atau kegiatan yang mirip dengan sesungguhnya, bisa berupa; bermain peran, model, dan komputer, (2) Membahas kinerja mahasiswa. Sedangkan mahasiswa (1) mempelajari dan menjalankan suatu peran yang ditugaskan, (2) memperaktekan atau mencoba berbagai model yang telah disiapkan (komputer, prototife, dll).

Discovery Learning

Metode ini berbentuk pemberian tugas belajar atau penelitian kepada mahasiswa dengan tujuan supaya mahasiswa dapat mencari sendiri jawabannya tampa bantuan pengajar.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) menyediakan data atau metode untuk menelusuri pengetahuan yang akan dipelajari mahasiswa, (2) memeriksa dan memberikan ulasan terhadap hasil belajar mahasiswa. Sedangkan mahasiswa (1) mencari, mengumpulkan, dan menyusun informasi yang ada untuk mendeskripsikan suatu pengetahuan yang baru, (2) Mempresentasikan secara verbal dan non verbal.

Self-Directed Learning

Metode ini berbentuk pemberian tugas belajar kepada mahasiswa, seperti tugas membaca dan membuat ringkasan.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) memotivasi dan memfasilitasi mahasiswa, (2) memberikan arahan, bimbingan dan umpan balik kemajuan belajar mahasiswa. Sedangkan mahasiswa (1) merencanakan kegiatan belajar, melaksanakan, dan menilai pengalaman belajar sendiri, (2) inisiatif belajar dari mahasiswa sendiri.

Cooperative Learning

Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, mahasiswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, mahasiswa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.

Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) merancang dan memonitor proses belajar mahasiswa, (2) menyiapkan kasus atau masalah untuk diselesaikan mahasiswa secara berkelompok. Sedangkan mahasiswa (1) membahas dan menyimpulkan masalah atau tugas yang diberikan secara berkelompok (2) melakukan koordinasi dalam kelompok.

Contextual Learning (CL)

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan mahasiswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajikan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran mahasiswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas mahasiswa, mahasiswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh mahasiswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha mahasiswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).

Dengan metode ini pengajar harus, (1) menyusun tugas untuk studi mahasiswa terjun di lapangan, (2) menjelaskan bahan kajian yang bersifat teori dan mengkaitkan dengan situasi nyata atau kerja profesional. Sedangkan mahasiswa (1) Melakukan studi lapapangan atau terjun di dunia nyata untuk mempelajari kesesuaian teori (2) membahas konsep atau teori yang berkaitan dengan situasi nyata.

Problem Based Learning (PBL)

Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual mahasiswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar mahasiswa dapat berpikir optimal.

Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) Merangsang tugas belajar dengan berbagai alternatif metode penyelesaian masalah (2) Sebagai fasilitator dan motivator. Sedangkan mahasiswa (1) Belajar dengan menggali atau mencari informasi (inquiry), serta memamfaatkan informasi tersebut untuk memecahkan masalah faktual yang sedang dihadapi, (2) Menganalisis strategi pemecahan masalah.

Collaborative Learning (CbL)

Metode ini memungkinkan mahasiswa untuk mencari dan menemukan jawaban sebanyak mungkin, saling berinteraksi untuk menggali semua kemungkinan yang ada.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) Merancang tugas yang bersifat open ended, (2) Sebagai fasilitator dan motivator. Sedangkan mahasiswa (1) Membuat rancangan proses dan bentuk penilaian berdasarkan konsensus kelompok sendiri (2) Bekerja sama dengan anggota kelompoknya dalam mengerjakan tugas.

Project Based Learning (PjBL)

Metode pembelajaran ini adalah memberikan tugas-tugas project yang harus diselesaikan oleh mahasiswa dengan mencari sumber pustaka sendiri.

Dengan metode ini pengajar harus, (1) merumuskan tugas dan melakukan proses pembimbingan dan asesmen, (2) Sebagai fasilitator dan motivator. Sedangkan mahasiswa (1) Mengerjakan tugas (berupa proyek) yang telah dirancang secara sistematis (2) menun-jukkan kinerja dan mempertanggungjawabkan hasil kerja di forum.

Daftar Pustaka

  1. Atwi Suparman (1997). Desain Instruksional. Pusat Antar Universitas., DIKTI
  2. Ary Ginanjar Agustian (2002). Emotional Spritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga.
  3. Buku Kerja, (2000), Ancangan Aplikasi Peningkatan Proses Belajar Mengajar, APTIK
  4. Burton, L (1993). The Constructivist Classroom Education in Profile. Perth: Edith Cowan University.
  5. Buzan, Tony (1989). Use Both Sides of Yoru Brain, 3rd ed. New York: Penguin Books.
  6. Cord (2001). What is Contextual Learning. WWI Publishing Texas: Waco.
  7. De Porter, Bobbi (1992). Quantum Learning. New York: Dell Publishing.
  8. Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL). Jakarta.:Depdiknas.
  9. Erman, S.Ar., dkk. (2002). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-FPMIPA.
  10. Fischer G , Palen L. Learner-centered design: beyond “gift -wrapping”. Center forLifelong Learning & DesignUniversity of Colorado at Boulder 1999.
  11. Siswomihardjo  KW.  Kearifan  Guru  Besar  dalam  perspektif  normatif  dan aktualitasnya.  Focus  Group  Discussion:  Kearifan  Guru  besar,  Keteladanan / Budaya Panutan; Universitas Gadjah M ada, 29 Oktober 2004.
  12. Cook  J,  Cook  L.  How  technology  enhances  the quality  of  student -centered learning. Quality Progress 1998;31(7):59-63.
  13. Gardner, Howard (1985). Frame of Mind: The Theory of Multiple Ilntelligences. New York: Basic Bools.
  14. Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
  15. Harsono, (2004),  Kearifan dalam transformasi pembelajaran: dari teacher-centered ke student-centered learning, Makalah Seminar Implementasi nilai kearifan  dalam  proses pembelajaran berorientasi student-centered learning UGM.
  16. Materi Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi, (2008), Model Pembelajaran, DIKTI.